Tim Muhibah Angklung (Foto: Tri Ispranoto/detikcom)
Bandung – Pertengahan Juli 2018 tidak akan terlupakan bagi Tim Muhibah Angklung Paguyuban Pasundan. Perjuangan mereka mengamen untuk biaya hidup di luar negeri berbuah hasil dengan menjadi juara dunia di Bulgaria.
Tim terdiri dari 36 orang itu pemain angklung yang masih duduk di bangku SMA dan perguruan tinggi. Mereka sejak 28 Juni 2018 terbang ke luar negeri untuk mengikuti sejumlah perlombaan dengan modal nekat.
Tim ini bisa dibilang nekat karena hanya berbekal tak lebih Rp 500 juta untuk perjalanan selama satu bulan lebih. Sebenarnya tim bisa saja hidup berkecukupan saat itu, namun sponsor utama tiba-tiba menarik diri sebelum keberangkatan tanpa ada alasan jelas.
“Kita hanya ada biaya dari CSR BJB 350 juta rupiah sama swadaya dan dari orang tua, total-total sekitar 500 juta rupiah. Sementara selama di sana mulai 28 Juni hingga 31 Juli habisnya kisaran lebih 1 miliar rupiah,” ucap Ketua Tim Muhibah Angklung Paguyuban Pasundan Maulana Muhammad Syuhada di Gedung Paguyuban Pasundan, Kota Bandung, Jawa Barat, Sabtu (18/8/2018).
Menurut dia, kenekatan itu tak lain karena tekad yang kuat tim untuk mengikuti lomba sekaligus mempromosikan angklung di luar negeri, tepatnya di tujuh negara Asia dan Eropa.
Kali pertama tim ini mendarat di Belanda untuk tampil di Amsterdam. Kemudian perjalanan berlanjut ke Jerman untuk tampil di Berlin dan Potsdam.
“Lanjut ke Budapest. Di tempat ini kita dapat bantuan dari KBRI membuat flasmob angklung tepatnya di monumen Basilica,” ucap Maulana.
Setelah dari Budapest, perjalanan berlanjut ke Istanbul, Turki, dengan menggunakan bus dengan waktu tempuh selama 26 jam. Perjalanan yang panjang membuat tim kesulitan untuk istirahat dan mencari makan. “Karena susah istirahat dan makan makanya anak-anak terkena diare berjamaah, yang enggak hanya dua orang,” tuturnya.
Tim yang dijadwalkan tiba di Istanbul pada pukul empat sore itu baru tiba keesokan harinya atau sekitar pukul tiga subuh. Tanpa lelah mereka melanjutkan dengan membuat pertunjukan di Monumen New Turki. Lelah mereka sirna setelah mendapat sambutan luar biasa.
Selanjutnya tim menuju utara, tepatnya ke Bulgaria. Di tempat inilah digelar International Youth Festival Of Art di Sozopol selama lima hari. Secara khusus tim mengikuti lomba kategori folklore.
“Saat kompetisi, kita bawakan tarian dan lagu Lalayaran, Jali-Jali, Yamko Rambe Yamko dan Tari Indang. Di sini kita berhasil menang kategori folklore dan juara umum dari semua kategori,” ujar Maulana.
Kisah Tim Angklung Pasundan: Habis Duit, Ngamen dan Juara DuniaTim Muhibah Angklung (Foto: Tri Ispranoto/detikcom)
Rupanya selama lima hari di tempat itu tim sudah mulai kehabisan uang, hingga akhirnya mereka ditampung oleh pihak KBRI di Sofia. Bahkan tim sempat diwawancarai dua televisi terkemuka Bulgaria karena berhasil menjadi juara.
Lima hari berada di sana, perjalanan berlanjut ke Bosnia. Lagi-lagi di tempat ini mendapat sambutan meriah dari warga, bahkan secara khusus pihak KBRI di Sarajevo mengundang duta besar negara sahabat untuk turut menyaksikan penampilan mereka.
Perjalanan berlanjut ke Swiss. Tim yang sudah kehabisan uang mendapat bantuan dari warga untuk menginap dan makan selama beberapa hari.
“Ini pengalaman luar biasa. Kita bisa langsung diterima dan diizinkan tinggal di rumah orang-orang Swiss. Mereka menyangka kita penampil profesional. Mereka tidak percaya kita ini pelajar dan mahasiswa,” ujar Maulana.
Petualangan mereka akhirnya berakhir dan harus kembali ke Belanda untuk melanjutkan perjalanan pulang ke tanah air.
Ngamen Demi Biaya Hidup
Di tengah kebanggaan bisa menyabet gelar juara internasional, ternyata tim sama sekali tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Berbekal uang sekitar Rp 500 juta, tim malah harus mengeluarkan biaya hingga Rp 1 miliar lebih selama sebulan di tujuh negara tersebut.
Rupanya mereka menyiasati kekurangan biaya itu dengan mengamen. Berbekal uang sekitar Rp 500 juta, tim malah harus mengeluarkan biaya hingga Rp 1 miliar lebih selama sebulan di tujuh negara tersebut. Rupanya mereka menyiasati kekurangan biaya itu dengan mengamen.
“Hampir di setiap negara kita ngamen seperti di Berlin, Budapest, Bulgaria dan Swiss. Tapi kita ngamen dengan cara terhormat sudah seperti tampil festival. Sekali ngamen kita minimal bisa dapat sekitar tiga hingga enam juta (kalau dirupiahkan),” kata Maulana.
Meski banyak makan asam garam selama perjalanan, Maulana dan timnya tetap terus berjuang mempromosikan kebudayaan Indonesia terutama angklung yang merupakan khas Jawa Barat.
tro/bbn
Artikel ini telah tayang di news.detik.com dengan judul "Kisah Tim Muhibah Angklung: Habis Duit, Ngamen dan Juara Dunia", https://news.detik.com/jawabarat/4172267/kisah-tim-muhibah-angklung-habis-duit-ngamen-dan-juara-dunia
Semangat yang sangat luarbiasa
Lelah mereka sirna setelah mendapat sambutan luar biasa.